Senin, 11 Juni 2012

Menulis dalam Cita


Bercerita tentang cita-cita, terus terang saya masih bingung. Bukan berarti saya tidak memiliki cita-cita. Namun seiring dengan perjalanan hidup saya sebagai seorang difable banyak hal yang harus disesuaikan dengan segala kondisi yang ada. Sehingga, tak jarang apabila ditanya tentang cita-cita saya akan menjawab “Ingin ini, ingin begini…juga…ini..dan itu…” Tapi berhubung PlotPoint menggarisbawahi bahwa hanya satu cita-cita yang dijadikan tema dalam tulisan ini, maka saya akan coba menggabungkannya seringkas mungkin.

Are you ready to read it?? Oke…(Jengjengjengjeeeng *backsound*hehehe)

Akhir tahun 2009, saya menyelesaikan jenjang pendidikan di fakultas Psikologi Satya Wacana Salatiga. Saat itu, semangat serta keinginan untuk bekerja begitu menggebu. Kemudian saya mencoba mengirim cv ke berbagai perusahaan, instansi, sekolah, dimana pun sesuai dengan progdi yang saya ambil.

Dari sekian banyak cv yang saya kirim, hampir semuanya dinyatakan lolos secara administrasi. Layaknya seorang pelamar kerja, jika lolos tahap pertama maka lanjut tahap interview. Dan, kenyataan pahit itu menghampiri saya. Semua perusahaan, instansi dan sekolah yang melihat langsung kondisi fisik saya mundur teratur. Saya paham itu adalah sebuah penolakan.

Kemudian saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan selanjutnya?? Padahal saya hanya berdiam di rumah. Dan kemudian saya menemukan dunia baru, yaitu dunia kepenulisan.

Mulailah saya jatuh cinta pada bidang ini. Berawal dari ajakan Dosen untuk menyalurkan hobi saya membuat puisi yang selama ini berceceran dimana-mana tak tentu arah. Saya kemudian bergabung dalam blog social media yaitu Kompasiana. Disinilah saya menemukan passion baru, berkenalan dengan penulis-penulis senior maupun pemula seperti saya. Sambutan hangat yang begitu ramah membuat saya semakin mantap untuk menulis.

Memang benar, jika tulisan saya mungkin belum bisa dikatakan bagus. Belum setara dengan Andrea Hirata atau Dewi Dee. Akan tetapi saya merasa bebas ketika menulis. Fiksi adalah tulisan yang paling banyak saya tulis, terutama puisi.

Saya banyak belajar dari menulis. Bagaimana kata demi kata itu menyuarakan kejujuran dari hati kita. Bagaimana kata-kata itu mampu mengubah pikiran, pandangan atau nilai dalam kehidupan ini. Bagaimana kata-kata itu mampu melenakan kita dalam keindahan kosakata. Bagaimana kata-kata itu menggerakkkan tubuh yang tadinya terbujur kaku dalam keegoisan diri. Semua itu saya temukan melalui dunia kepenulisan ini.

Dan pada akhirnya saya mantap mengatakan bahwa cita-cita saya adalah ingin menerbitkan buku. Buku dengan bersampulkan nama diri sendiri. Tidak mudah memang, akan tetapi saya masih berproses menuju ke sana.

Proses itu membawa saya berpetualang. Berpetualang melewati penolakan-penolakan dari penerbit satu ke penerbit yang lain. Dengan berbagai macam alasan tentunya. Mereka bilang jadwal dari penerbitan tersebut sudah penuh, sehingga tidak bisa menampung tulisan baru. Ada juga yang mengatakan ‘belum punya nama’ Saat itu saya berpikir, mungkin belum berjodoh dengan penerbit ini. Dan kembal saya mencoba mengirim tulisan.

Lalu saya mencoba berpetualang menangkringkan tulisan di beberapa majalah remaja. Dan benar seperti perkiraan saya, ada tulisan yang dimuat, tapi ada juga yang hanya dikabarkan dimuat hehehe.. Hasil dari dimuatnya tulisan saya itu memang tidak seberapa, namun kepuasan batin ketika tulisan itu dimuat dan dibaca banyak orang adalah nilai yang tak terhingga besarnya. Terlebih lagi jika tulisan itu mampu menginspirasi dan memotivasi pembaca.

Jika ditanya apakah ada tulisan yang paling berkesan?? Saya jawab ada. Yaitu ketika puisi saya ikut dimuat ketika saya menjadi narasumber di majalah Luar Biasa edisi oktober 2011. Mungkin bagi warga Jakarta majalah Luar Biasa tidak asing. Karena majalah itu diproduksi untuk Jabodetabek. Lebih membanggakannya lagi ketika mengetahui jika ternyata Bapak Andrie Wongso adalah orang penting yang mempunyai andil besar dalam pembuatan majalah Luar Biasa ini.

Saya terus mencoba mengasah kemampuan menulis. Meski terkadang maĆ­z seperti orang curhat (emm…ini termasuk tidak ya?? hehehe). Tapi saya terus menulis. Entah hanya puisi, cerpen, opini, atau apapun itu. Saya akui beberapa waktu terakhir ini saya jarang menulis di Kompasiana atau di tempat lain. Bukan karena sudah tidak minat menulis, melainkan jadwal kegiatan di dunia nyata cukup menguras waktu dan tenaga saya. Well, sebagai seorang Trainer di sebuah lembaga yang bergerak di bidang SDM tentulah harus hadir secara total.

Diantara kegiatan-kegiatan itulah saya terus berpikir untuk bisa menerbitkan buku sendiri.

Terkadang, saya bingung menentukan apa yang ingin saya bukukan?? Kumpulan puisikah? cerpen? atau hal yang lain. Sempat juga terfpikir untuk menulis tentang difable. Lain hari beda lagi, ketika saya berkegiatan training, saya berpikir ingin menulis tentang trainer. Jika dituruti banyak ya..hehehe...

Intinya saya ingin menjadi penulis. Tiga buku Antologi (Kompasiana) yang sudah ada belum membuat saya merasa puas. Saya ingin memiliki buku yang seluruh isinya adalah hasil karya, ide, pemikiran serta pendapat saya. Namun itu semua membutuhkan usaha dan kerja keras. Yang saya lakukan hari ini memupuk semangat menulis agar tidak kendor. Malas, jenuh, mati ide pasti akan tetap ada dan tidak dapat dihindari namun hendaknya harus bisa disikapi dengan bijak. Sehingga tidak mematikan daya juang untuk terus berkarya.

Ya, itulah petualangan saya dalam dunia kepenulisan. Saat ini saya masih berusaha untuk bisa menerbitkan buku sendiri. Mencari informasi ke berbagai penerbit. Bertanya sana sini tentang Self Publishing. Dan tentu saja terus mencari ilham untuk menulis. Mencari itu memang sulit dan melelahkan, namun jika dilakukan dengan konsisten dan tanpa pernah menyerah, dengan sendirinya yang dicari akan datang. Begitu bukan??

Jika kelak cita-cita ini terwujud, saya ingin semua orang tahu bahwa menulis juga mampu menjadi profesi yang layak diperhitungkan. Di luar sana mungkin sudah banyak penulis-penulis handal. Namun bagaimana kita memberikan ciri khas tersendiri dalam tiap tulisan, bagaimana kita mengemas tulisan itu menjadi hal yang bernilai bagi semua orang.

Saya tidak mau muluk-muluk, jika tulisan saya bisa diterima dengan baik. Bukan tidak mungkin jika buku saya nanti pun demikian. Sehingga saya bisa dengan tegap mengatakan pada mereka jangan melihat saya sebagai difable. Namun lihatlah yang sudah saya lakukan. Apa yang sudah saya berikan dan apa yang sudah saya ciptakan. Itu saja!