Minggu, 21 Juli 2019

Pelindung Hatiku

Entah kenapa tiba tiba ingin menuliskan tentang ini. Mungkin akan sedikit melow, tapi serius ini beneran dari dalem hati. Bukan bermaksud apa apa, hanya ingin mengungkapkan apa yang di rasakan. 

Memang benar, banyak sekali orang baik yang ada di setiap langkah kisahku. Saking banyaknya bisa jadi berlembar lembar buku jika ditulis. Namun sebagian dari banyaknya orang baik tersebut, merekalah yang memberikan pelajaran hidup yang begitu berkesan. Bukan berarti yang lain tidak berkesan ya, hanya saja...kelak jika ada seseorang yang meminta hatiku, aku ingin merekalah yang akan memberikan restu untuk yang pertama kalinya. 



Bapak dan ibu, tanpa mereka aku tidak akan pernah ada di sini. Mereka sosok yang tangguh dan sabar. Tak perlu ribuan kata untuk menegaskan betapa hebatnya mereka. Yang kutahu sejak memilki putri sepertiku pun mereka berjuang mati matian untuk merawat, mendidik, dan mengusahakan segala yang terbaik untukku. Bahkan di usia senja, mereka masih harus menemaniku menempuh pendidikan, dengan meninggalkan kegiatan mereka sendiri (terutama ibu). Sungguh aku merasa menyesal. Mengapa waktu itu aku tidak memilih tidak indekos saja. Agar ibu bisa tetap beraktifitas bersama teman temannya di rumah. Mengapa setalah 2tahun kos aku lebih nyaman indekos sendiri bareng teman teman. Ternyata ibu saat itu hanya butuh teman. Ahh...belum selesai menyesal, kembali teringat...mengapa tidak aku suruh ibu dan bapak tinggal lebih dekat dengan cucu cucunya saja. Agar tidak selalu memendam rindu tiap kali lebaran tiba dan mendapati kabar kakak kakakku tidak bisa pulang. Ahh...mengapa mereka selalu berkata " Ga mau ngrepotin anak "
Lima tahun lalu, Tuhan memberi jalan lain agar aku sadar bahwa aku harus ada di samping mereka.  SkenarioNya luar biasa. Tepat Bapak pensiun kerja, saat itu pula ibu terdiagnosa Dementia Alzheimer. Masa sulit dan berat memang sudah terlewati, namun kini aku hanya berharap ibu tetap masih bisa mengerti apa yang ingin aku sampaikan ini. 


mandri 
Matul 
Mandri Matul. Dua kakakku yang sekarang bisa bertemu jika ada acara atau lebaran saja. Kecuali Matul yang 2 tahun ini seminggu sekali mampir ke rumah (karna dinas di Semarang).
Dulu, duluuuuu banget mandri yang sering momong aku. Seingetku tiap kali ibu pergi, mandri yang selalu membantuku. Dari mandi, makan, poop (ups). Tapi setelah mandri menikah dan pindah ke Jakarta, aku jadi suka nguyel nguyel matul tiap kali pulang dari Jakarta (dulu matul juga sekolah di Jakarta, tapi lebih sering pulang). Entahlah, aku juga bingung kenapa bisa gitu.
Eh..kalau boleh jujur nih ya, waktu mandri nikah, aku masih SD atau SMP, lupa! Yang jelas aku nggak ngerti apa apa, taunya mandri mau nikah. titik. Begitu pun waktu matul (aku udah masuk kuliah awal sih) tapi waktu itu responku masih sama. Cuma mengangguk. Iya, matul nikah. titik. Bahkan waktu matul tanya soal calon istrinya, aku ga ngasih jawaban yang jelas, cuma nyengar nyengir aja. Dan...aku baru sadar setelah merasakan seperti ada sesuatu yang kurang. Mandri nikah, harusnya nambah ramai, tapi justru malah sepi. Mandri udah mulai ga pernah pulang. Kalopun pulang, bukan aku lagi yang jadi prioritasnya. Bapak ibu juga digituin. Kayaknya waktu itu keluarga di sini udah ga pernah dikunjungin. Aku pikir ah...itu kan mandri. Bedalah ma matul. Ehh..ga beda jauh ternyata. Makin sepi. Makin jarang pulang. Telpon klo ada perlu aja. Aku baru tahu kenapa waktu itu aq cuma diem. Sebagai adik, aku merasa kehilangan. Entah karna tidak dekatnya dengan calon kakak ipar atau karna usia yang terpaut cukup jauh, i don't know why...
Yang jelas, aku merasa ada yang mengambil mereka dariku. Ditambah pas melihat kesepian itu juga dialami bapak ibu ( baik secara tersirat ataupun tersurat) Jujur, aku marah. Aku sebel, jengkel. Tapi aku nggak bisa berbuat apa apa. Tiap ngerasa marah, aq lashback. Kenapa waktu itu aku nggak ngomong klo aq ga mau di tinggal. Aq takut untuk bilang klo aq belum mau ditinggal pergi. aku merasa ga berhak melarang mereka. Iya bener, aq pernah marah. Tapi makin lama makin "kapalen". Udah nggak mau ngerasain jengkel marah sebel lagi. 
Tapi mereka tetap kakak kakakku yang baik. Ada banyak kejadian yang berkesan dulu sewaktu kecil. Kita masih serumah. Maen bareng, tukaran, baikan, tukaran lagi, baikan lagi gitu aja terus.Tapi itu yang bikin kangen. Mandri ga pernah marah, bawaannya mesam mesem. Matul tetep pendiem, tapi sekalinya ngomong nancep kayak piso. Klo ibarat cewe mandri itu cewe genit, ganjen. Klo matul cewe judes, angkuh. Ya gitu deh pokoknya.


Mas Sampoerna 
Mas Sam, pertama ketemu sekitar tahun 2006. Seorang dosen komunikasi. Udah gitu aja. Tapi ketika aku lulus kuliah akhir 2009, sempet frustasi karna ga dapet kerjaan. Stuck dirumah hingga pertengahan 2010. Di saat inilah tangan Tuhan bekerja. Tiba tiba mas Sam mencariku, menemuiku. Memintaku bergabung di timnya. Lumayan panjang perjuangan mas Sam meyakinkanku dan juga Bapak Ibu. Dan ternyata perjuangan tersebut berlanjut hingga sekarang. Beliau sudah kuanggap seperti bapak ideologisku sendiri. Dari mas Sam aku belajar bicara di depan peserta pelatihan. Digojlok abis abisan. Mulai dari nasihat, masukan, kritikan sampe aku nangis (beneran nangis loh!) saking aku nggak ngerti ngerti juga. Ibarate sampe dijebles jebleske tembok. Meskipun kadang aku ga paham maksud dari pembicaraanya juga sih. Entah karna aq yang cetek ato gmn...hhehehee.. 
Tapi aku salut pada kesabarannya mas Sam dan teman teman di Adaptive. Bisa dibilang aku moodyan. Aku sulit untuk merasa nyaman di lingkungan baru, teman baru atau pembicaraan baru. Lebih nyaman jika ngobrol hanya berdua atau bertiga. Ga tau kenapa. 
Makanya pas mas Sam mengevaluasi ku di depan teman teman, aku sempet nangis, karna aku ga suka. Tapi setelah aku pikir pikir lagi, ada benernya juga sih mas Sam begitu. Melatih mentalku. Dan benar. Sekitar dua tahun lalu aku berani mengiisi materi / pembicara / narasumber sendiri. Tapi tetep yee minta briefing temen satu tim duluu hehehehee.

Nyeee
Last but not least. Bukan orang baru. Dia orang lawas. TK, SD, SMP, SMA bareng. Rumah tinggal ngglundhung aja gitu nyampe. Teman, sahabat, kerabat, keluarga atau apapun sebutannya yang jelas tanpa di sadari punya andil dalam mempertahankan semangat diri. Ya..benar, sahabatku banyak, namun yang memantikkan apa itu arti musik, apa itu arti menyayangi keluarga, dia salah satunya. Kami itu dibilang dekat, nggak juga...dibulang jauh...nggak tahu juga deh. Hanya saja aahh...kenapa sulit mengungkapkannya. Mungkin setiap kali ada orang yang mengenal kami, selalu saja menanyakan dia. Emang kita sepaket?? 
Oh mungkin karna dulu, aku memang sering menyanyi di gereja. Iya. Aku menyanyi di gereja. Buat yang belum paham, dulu mengapa aku menyanyi di gereja. Emm...agak sulit diterima nih jawabannya. Jadi dulu, aku suka untuk tampil ( terutama nyanyi). Di sekolah pun dia juga yang selalu mengiringi ketika mengisi acara. Well, ketika aku diminta menyanyi di gereja, so what? Yang bisa aku lakuin hanyalah nyanyi. I can't do anything else. Itu pikiranku, sebab apa salahnya sih toh tidak ada yang bakalan berubah kok. Baik itu dari aku sendiri maupun yang lainnya. Ada pengalaman yang masih teringat sih sampe sekarang, yaitu ketika ada beberapa pendeta, mereka mendoakanku begitu khidmat. Dan aku spontan memegang erat tanganmu Nyee, tau kenapa? Aku mencari pegangan yang aku percaya.  Bukan brarti aku tidak percaya pada para pendeta tadi ya. Hanya saja, aku ingin menenangkan diri dengan memegang tanganmu. Itu saja. Terlepas apakah yang kulakukan (menyanyi di gereja) ini salah atau tidak aku tidak peduli. Karna saat itu yang ada di pikranku hanyalah aku senang tampil, aku senang ketika oranglain menyukai penampilanku. I just want to be happy and everybody happy too..that's all. 
Yah mungkin itu pemikiran sederhanaku saat itu. Bahkan sekarangpun aku tidak menyesalinya. Aku justru merasa beruntung memiliki pengalaman seperti itu. Justru ini semakin mempertegas bahwa BEDA bukan menjadi BATAS, melainkan RASA yang bisa menjadi SELARAS.
Sebenarnya secara tersirat aku tahu, dia jadi pelindung hatiku. Namun entah hanya aku yang kegeeran atau seperti itu adanya, aku merasa menemukan amunisi yang besar untuk menjalani hari. Mungkin sosok kakak yang sudah mulai jarang dan hampir tidak pernah senguyel uyel dulu, aku seperti kembali happy setiap bertemu. Entahlah apa namanya yang jelas salah satu support systemku ada di dia. 

So, dari panjang kali lebar barusan, aku hanya ingin mengungkapkan bahwa mereka adalah orang yang sangat berharga untukku. Aku ingin menghabiskan sisa umurku untuk mencetak kenangan manis sebanyak mungkin dengan mereka. Sebab waktu tidak bisa menunggu tak bisa diputar kembali. Jika ada kesalahanku maka permintaan maaf terdalamku kutujukan pada mereka. Jika terimakasihku tak pernah sebanding dengan kesabaran dan cinta kasih mereka, maka pelukan dalam doaku yang bisa kuberikan.

Dari mereka aku belajar arti hidup, totalitas, dan tanggungjawab, Dari mereka aku belajar waktu adalah harta paling MAHAL. Apalagi waktu yang dihabiskan bersama orang tersayang. Dari mereka aku belajar, ketika mengejar karir dan dunia ada hati yang selalu menunggu untuk sebuah kata "luangmu" namun ketika mengejar dan menyediakan "luangmu" untuk mereka yang menunggu, maka karir dan dunia akan mengikutimu.
Mungkin aku merangkum semua pengalaman ditinggalkan, ditolak, kesepian, kesendirian, ketakutan, kekhawatiran juga kebingungan menjadi kunci untuk bertahan. Bertahan untuk senyum dan tawa mereka. Selama aku bisa melihat mereka bahagia, aku tak mau lagi yang lain. Jikalau kelak Tuhan mengirim seorang pria untuk menemani sisa umurku, aku mau dia bertemu dan merangkul Lima Pelindung Hidupku ini.



Aku tahu, saat ini mungkin aku bukan yang UTAMA di hidup mereka. Tapi asal tahu saja bahwa mereka akan selalu menjadi yang UTAMA untukku.