Selasa, 01 Januari 2019

2018 - Menemukan, melepaskan dan kehilangan

Di postingan sebelumnya banyak kenangan manis tertoreh di 2018. 
Namun, di akhir 2018 justru kabar duka datang beruntun tak terduga.

Ya, di sini bukan maksud hati membuka kesedihan kembali, bukan pula ingin berlarut dalam duka. Hanya saja, sepenggal kisah yang pernah terukir manis bersama mereka, layak untuk tidak di lupakan. 

Eunike Celia Hapsari
Pertengahan bulan November 2018, mendengar kabar Ike opname di Rumah Sakit. Memang bukan yang pertama kudengar, namun sepertinya cukup mengkhawatirkan. Sakit kanker yang di deritanya sejak 3 atau 4 tahun yang lalu (maaf kalau salah..silahkan koreksi.) kambuh kembali. Sangat mengejutkan memang, karena selama menjalani kemoterapi tampak baik baik saja. Dan kabarnya sudah dinyatakan sembuh. 

Sebenarnya aku sudah lama mengenal Ike. Kakaknya adalah sahabatku sejak SD hingga sekarang. Banyak moment yang membuat kami sering bertemu. Kita satu sekolah saat SMA. Dulu, aku juga sering diminta menyanyi di Gerejanya. 
Dimana ada kegiatan musik Ike juga selalu diikutsertakan. Iya, suara Ike memang bagus, begitu halus dan penuh penghayatan setiap kali dia bernyanyi. Yang aku tahu, Ike adalah pribadi yang ramah pada semua orang. 

4 tahun yang lalu, Ike sempat membantu menjadi tutor di Rumah Belajar Gobooks. Dengan anak-anak pun dia gemati, sabar dan telaten. Sayang, Ike hanya sebentar di Gobooks, karna dia mendapat pekerjaan di Semarang. 
Waktu hari pernikahan Ike, aku ada di sana. Masih ingat samar samar, dia begitu manis dengan gaun putihnya. Dan sekarang putranya sudah berumur 5 thn (koreksi jika keliru.). 

Jujur, bagiku Ike itu bukan orang lain. Meskipun benar, kami bertetangga. Tidak ada hubungan darah sama sekali. Tetapi ketika hari Sabtu sore waktu itu, salah satu Tutor Gobooks Lea menelepon memberitahukan bahwa Ike sudah berpulang, entah kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang begitu dekat. Aku dan Lea tak kuasa menahan tangis. Sore itu juga aku menunggu kedatangan jenazah di gereja. Di satu sisi aku ikut merasakan sedihnya, di satu sisi aku bingung harus berbuat apa. Hanya bisa duduk mengamati sekitar. 

Bahkan hingga malam sampai keesokan harinya aku tidak berani menatap keluarga yang lain. Aku takut, aku tak kuasa menahan sedih di hadapan mereka. Ketika ku beranikan diri bertemu dengan tante, dan om lalu melihat Ike di dalam peti, aku tidak berani berlama - lama. 
Aku takut menghampiri kamu, Nyeee. Tidak berani, walau sebenarnya sangat ingin mengucapkan turut bersedih dan berada di dekatmu. Tapi urung, aku takut menambah kesedihan. 

Saat berada di rumah, aku berpikir, iya..aku juga anak bungsu, aku juga satu satunya anak perempuan yang di miliki Bapak Ibu. Jika itu terjadi padaku, apakah mereka akan sesedih itu? Seperti yangaku tulis di atas, aku dan Ike tidak memiliki hubungan darah. Tapi dibilang jauh, tidak juga. Dibilang dekat, tidak juga. Lalu kenapa sedihku ini berat. Apakah mungkin aku tidak tega melihat tante? Usia ibu dan tante sama, jika saja ibu masih sehat dan mengalami hal yang sama, apakah akan seperti itu jika aku pergi duluan ya? 

Aku berharap tante tidak berlarut dalam kesedihan. Aku harap 2 putranya selalu menemani secara lahir batin. Semoga hal yang terjadi pada ibuku dulu tidak terulang. Karna kesepian ditinggal cucu cucunya,dan  anak-anaknya tidak pernah di rumah. Ketahuilah seorang ibu itu pandai menyembunyikan sedih dan sepinya. Kita yang ada di dekatnya sudah berkewajiban mendampingi menemaninya. Ya kan??

Belum reda kesedihan kehilangan seorang adik. 2 minggu kemudian mendapat kabar bahwa suami dari sepupuku Sulih, juga berpulang. Padahal kami sedang berencana untuk kembali menengok.untuk yang kesekian kalinya. Ternyata Tuhan berkendak lain. Sakit kanker darah selama 3 bulan telah di diagnosa dokter. Begitu cepat sehingga banyak yang tidak menyangka. 

Masih jelas teringat ketika mereka pertama kali bertemu 6 tahun yang lalu. Di tempat biasa dimana aku sering datangi kala itu, TDB. Mereka menikah dan dikaruniai kembar Banyu dan Bening. Tak kuasa aku melihat kembar yang masih 5 tahun menanyakan papanya. Namun, kenyataan sekali lagi memiliki kuasaNya. 

Yan Pambudi Ilmi 
Yang lebih membuatku kaget adalah tentang nama. Sepupuku mengatakan bahwa nama yang tertera di akte kelahiran adalah Yan. Padahal selama ini ku mengenal dengan nama Ryan. Entahlah.. apa yang ada dipikiranku. Spechless, tidak bisa berkata apa apa. 

Ke depan aku berharap Sulih dan kembar mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Ikhlas kepada yang di atas. Berserah tanpa menyerah. Berjuang dengan semangat. Karna Tuhan selalu ada.

Belum sampai di situ. Seminggu kemudian kabar duka kembali datang. Mbahmbok aku memanggilnya, berpulang. Sesalku satu, hari itu aku lewat depan warungnya, dan bertanya tanya kenapa sepi, tutup? Dan lewat begitu saja tanpa melihat masuk ke dalam. Ternyata sore harinya mbahmbok sedo. 

Mbahmbok Srimah 
Mbahmbok adalah kakak dari mbah Uti, Ibunya Ibu. Sangat dekat dengan semua anak, cucu, cicitnya. Sangat sayang pada semuanya. Mbahmbok meninggal karna usianya sudah 90an. Hanya bisa tiduran beberapa bulan belakangan ini. 

Ketika aku melihat wajah mbahmbok, tampak mirip sekali dengan mbah Uti, lalu mirip Ibu. Deg! Hatiku tergetar. Aku hanya terdiam. Tidak berani mengatakan apa apa. 

Semua saudara berduka. Semua kehilangan. 

Tulisan ini bukan untuk mencari empati, simpati, malinkan ingin berbagi nilai dari sebuah kehilangan. 
Setiap orang kelak akan kehilangan. Baik itu orang terkasih, benda kesayangan, hewan peliharaan dll.
 
Namun tidak semua orang akan merasakan kehilangan. Mengapa?
Sebab mereka tidak pernah menemukan. 
Mereka tidak menemukan nilai yang berharga dari orang orang yang meninggalkan mereka.
Mereka tidak menemukan arti tiap kehadiran dari orang terdekatnya.
Mereka tidak menemukan rasa nyaman dalam pelukan seseorang di hadapannya.
Mereka tidak menemukan waktu yang berharga yang dihabiskan untuk sekedar menemani. 
Mereka tidak menemukan cinta dan kasih sayang dari kehadirannya.

Maka tak perlu hubungan darah untuk menemukan itu semua. 
Sebab arti dari kehadiran sesorang adalah penopang segala resah, gundah dan kesepian.  

Pertanyaannya?
Sudahkah kita hadir untuk mereka yang terkasih?
Yang mungkin merindukan tanpa berani mengatakan

Tahun 2018, menjadi tahun yang membuatku tersadar,
Ketika ku menemukanmu saat itu, ternyata hatiku sedang menemukan arti melepaskan. 
Cepat atau lambat, kita yang akan meninggalkan lebih dulu atau justru ditinggalkan lebih dulu. 
Mengingat peristiwa duka yang beruntun ini tak bisa di pungkiri, kelak kita harus bisa melepaskan. 
Entah untuk melepaskan kepergian selamanya atau 
Melepaskan apa yang tidak bisa dipaksakan. 

Saat ini siapku untuk melepas apa yang tak bisa dipaksakan.
Jadi jangan memaksaku melepasmu dalam hal lain. Ku tak sanggup. 

Jika kamu membaca tulisan ini.
Mengertilah, aku hanya menemukan arti hadirmu. 
Mengertilah, diri merindu waktu untuk bersama.
Hanya itu...

Jika kamu membaca tulisan ini
Bolehkah ku bertanya apa artiku bagimu?
Bolehkan bagi waktumu sedetik saja, nanti saat terpurukku?
Agar ku bangkit melalui pelukanmu. 

Jika kamu membaca tulisan ini
Nyanyikan senandung hatimu untukku
Hampiriku melantunkan kerinduan tersembunyiku
Itu saja...

010119